Urgensivitas Kebijakan Integral dalam Keluarga


Manusia tidak bisa terlepas dari tiga naluri kemanusiaannya, tak terkecuali dengan nalurinya untuk melestarikan keturunan (garizatun nau’). Sehingga, berkeluarga adalah hal yang didamba. Tidak ada pasangan yang memulai membangun rumah tangga tanpa menginginkan sakinah, mawaddah, dan warohmah. Semua pasangan menginginkan rumah tangganya menjadi rumah tangga yang ideal.

Namun, pada faktanya masih banyak keluarga yang jauh dari kata ideal. Alasan perseteruan atau problematika kompleks dalam keluarga tidak kunjung berakhir, atau setidaknya berkurang. Kondisi seperti ini membuat beberapa orang merasa perlunya negara dan agama mengambil peran dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Beberapa anggota DPR dari berbagai partai, misalnya. Mereka mengajukan RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi ramai diperbincangkan, setelah masuk ke dalam Prolegnas 2020. 

Tentunya kemunculan RUU Ketahanan Keluarga ini tidak terlepas dari tuaian pro dan kontra. Arus  opini kontra mengalir begitu deras, lantang dan tak lupa berpayungkan HAM, terlebih yang digaungkan oleh kaum feminis. Pasalnya, RUU Ketahanan Keluarga bertolak belakang dengan pemahaman kaum feminis. Mereka menilai bahwa RUU ini terlalu mengintervensi ranah privasi keluarga, diskriminatif, dan merupakan upaya mereduksi peran wanita. Pasal yang yang paling banyak menuai kontroversi oleh kalangan kontra salah satunya adalah pasal yang berkenaan dengan kewajiban suami dan istri, tepatnya pada penekanan peran wanita di ranah domestik. Kaum feminis menilai bahwa pasal ini adalah pasal diskriminatif, karena wanita memiliki hak untuk bekerja atau memiliki karir cemerlang layaknya pria.  Apalagi, jika wanita memiliki pendidikan tinggi. Wanita yang tidak bekerja dianggap sebagai wanita yang tidak berdaya guna.

Adapun pasal lain, yaitu pasal 85 sampai 89 yang menekankan wajib lapor serta rehabiltasi untuk penyimpangan seksual/LGBT/Sadisme & Masokisme. Mereka, kaum feminis dan liberalis, menilai bahwa adanya pasal tersebut sama saja merupakan tindakan merebut HAM mereka, sang pelaku LGBT atau sejenisnya. 

Niat baik untuk mewujudkan ketahanan keluarga dan memperbaiki kualitas keluarga dengan diajukannya RUU KK ini, sudah bisa ditebak jalannya. Dimana ada syariat, di situ ada pertentangan, selama Kapitalis masih eksis dalam mengatur kehidupan bernegara. Maka wajar, RUU KK diserang tiada henti. Tidak ada tempat untuk syariat di sistem Kapitalis sekuler ini.  Mereka tidak akan bersikap kooperatif dengan UU semacam ini.

Mengapa Negara harus menyentuh ranah keluarga? Bukankah masalah keluarga dapat diselesaikan tanpa harus melibatkan Negara? Opini-opini yang digaungkan oleh kaum feminis dan liberalis terkait hal ini pasti akan diiyakan oleh beberapa orang. Pertanyaan ini harus dijawab lugas, selugas mereka menggaungkan opini. 

Di dunia ini, terdapat empat komponen kehidupan, yaitu individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Kita sebagai individu tidak bisa terlepas dari ketiga komponen lainnya. Keempat komponen ini harus saling mendukung. Apabila salah satunya tidak sejalan, maka keberhasilan tujuan kehidupan tak ubahnya hanyalah sesuatu yang pragmatis, tidak menyeluruh. Misalnya, dua insan ingin membentuk keluarga yang ideal nan islami dengan anak-anak yang sholih/ah. Tapi, di satu sisi, lingkungan pergaulan anak tidak islami. Maka, bukan tidak mungkin anak akan mengikuti arus liar yang siap mencengkramnya di luar rumah. Oleh karenanya, kebijakan integral sangat dibutuhkan, mulai dari lingkup keluarga, sampai negara. Islam dalam naungan Ke-khalifahan, memberikan solusi demi ketahanan keluarga dengan memastikan setiap anggota keluarga menjalankan perannya dengan semestinya melalui mekanisme kebijakan berasaskan syariah. Dengan begitu, Islam tetap mampu menyentuh Keluarga, tanpa sampai ke ranah privacy.

Begitu pula Islam menjaga keluarga dari virus jahat LGBTQ melalui berbagai kebijakan berasaskan syariah. Misalnya, dengan menyaring informasi serta membersihkan lingkungan dari virus ini, baik itu melalui hukuman yang berefek jera atau dengan terapi. Namun yang utama adalah dengan menanamkan akidah dan keimanan. Bukan malah mendukung mereka dengan alasan “HAM” dan “kesetaraan” hanya demi mereguh keuntungan.


Kediri, 01 Maret 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Tayo

Pendeklarasian Variabel Pada Javascript